Kanal Tips – Institut untuk Reformasi Layanan Esensial (IESR) menilai bahwa pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai target penghentian operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan pencapaian 100 persen energi terbarukan pada tahun 2040 merupakan langkah positif dalam upaya mempercepat transisi energi Indonesia menuju sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prabowo saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pada 19 November 2024, dan dinilai semakin memperkuat komitmen Indonesia dalam membatasi pemanasan global hingga maksimal 1,5 derajat Celsius, sesuai dengan Persetujuan Paris.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa ambisi Presiden Prabowo untuk mewujudkan swasembada energi hijau harus diikuti dengan kebijakan yang konkret. Fabby mengingatkan bahwa pencapaian target tersebut memerlukan kepemimpinan yang jelas serta perencanaan yang terperinci. “Langkah-langkah strategis dari pemerintah, seperti penyusunan peta jalan yang rinci dan terukur serta kebijakan yang mendukung, sangat penting untuk memastikan keberhasilan transisi energi ini,” kata Fabby. Salah satu langkah penting yang harus diambil adalah penghentian operasi PLTU batu bara, yang dianggap sebagai langkah krusial dalam transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan.
Menurut analisis IESR, untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emissions) pada tahun 2050, Indonesia perlu mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan sepenuhnya menghentikan operasional PLTU pada tahun 2045. Pengurangan penggunaan PLTU batu bara ini juga akan memungkinkan penetrasi energi terbarukan dalam bauran energi primer sektor listrik mencapai 40 persen pada 2030, yang sejalan dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
IESR juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan, seperti energi surya, angin, air, dan biomassa, yang dapat digunakan untuk mendukung transisi energi ini. Berdasarkan studi yang berjudul Beyond 443 GW, Indonesia memiliki total potensi teknis untuk menghasilkan energi terbarukan sebesar 7.879,43 gigawatt (GW), yang jauh melebihi kebutuhan energi nasional. Oleh karena itu, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menggantikan PLTU batu bara dengan pembangkit energi terbarukan secara efisien dan berbiaya rendah.
Namun, Fabby menekankan bahwa transisi energi ini tidak akan berjalan mulus tanpa adanya kebijakan yang jelas, pendanaan yang memadai, dan koordinasi antara berbagai pihak, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam hal ini, pemerintah perlu segera menyusun peta jalan untuk mengakhiri operasi PLTU batu bara, sesuai dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 yang menyebutkan target 2040 sebagai tahun penghentian operasi PLTU batu bara.
Selain itu, untuk memastikan transisi ini berjalan dengan adil, pemerintah harus memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak oleh pengakhiran operasi PLTU. Hal ini termasuk menyiapkan pelatihan untuk pekerja di sektor energi fosil agar dapat beralih ke sektor energi terbarukan. Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, menambahkan bahwa penghentian operasi PLTU batu bara dapat membawa manfaat besar, termasuk mengurangi polusi udara yang dapat mencegah hingga 182.000 kematian dini dan mengurangi biaya kesehatan yang sangat besar.
Namun, Deon juga mengingatkan bahwa transisi energi ini membutuhkan investasi yang besar. Untuk menggantikan pembangkit listrik berbasis batu bara dengan energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya, Indonesia memerlukan sekitar 1,2 triliun dolar AS hingga tahun 2050. Investasi ini akan digunakan untuk membangun kapasitas energi terbarukan, jaringan transmisi, penyimpanan energi, serta pengembangan teknologi yang diperlukan untuk mencapai target energi terbarukan yang ambisius.
Dukungan pendanaan internasional menjadi kunci untuk memastikan transisi ini berjalan dengan lancar dan berkelanjutan. Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, mengungkapkan bahwa kebijakan iklim Indonesia saat ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi target pembatasan pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celsius. Oleh karena itu, kolaborasi internasional dalam bentuk bantuan keuangan dan teknologi sangat diperlukan untuk mencapai tujuan karbon netral pada tahun 2050.
Presiden Prabowo Subianto juga mengungkapkan optimisme bahwa Indonesia akan mencapai swasembada energi hijau dalam beberapa tahun ke depan dan mampu memanfaatkan 100 persen energi terbarukan untuk pasokan listrik dalam sepuluh tahun. Ia menekankan bahwa dengan sumber daya yang melimpah, Indonesia siap untuk mengakhiri ketergantungan pada PLTU batu bara dan beralih ke energi terbarukan dalam waktu dekat.
More Stories
Dukungan Pemerintah terhadap UMKM untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional
Kantin dan UMKM Dapat Kesempatan Ikut Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Detroit Pistons Menang Tipis atas New York Knicks, Perpanjang Tren Kemenangan