Kanal Tips – Pada akhir Agustus 2024, Warren Buffett, investor legendaris dan pemilik Berkshire Hathaway, membuat keputusan besar dengan menjual 24,7 juta lembar sahamnya di Bank of America senilai hampir satu miliar dolar AS. Langkah ini merupakan bagian dari penjualan lebih luas yang dimulai sejak pertengahan Juli, di mana total penjualan saham di bank kedua terbesar AS ini telah mencapai lebih dari 5,4 miliar dolar AS. Hal ini mengundang perhatian besar dari pasar global, karena Buffett dikenal sebagai patokan bagi banyak investor. Mengingat reputasinya yang sudah mapan, banyak yang bertanya-tanya apa alasan di balik tindakan tersebut. Apakah Buffett memiliki informasi atau pandangan yang tidak diketahui oleh orang lain?
Bagi banyak orang, tindakan Buffett adalah sinyal yang perlu diperhatikan, karena ia sering kali dianggap sebagai indikator pasar yang sangat akurat. Seperti yang dijelaskan oleh Dylan Jovine, seorang analis terkemuka di Wall Street, beberapa faktor saat ini menunjukkan adanya kemungkinan gejolak besar di pasar saham AS. Dalam bukunya “Midnight in America,” Jovine menguraikan beberapa indikator yang bisa mengarah pada potensi kejatuhan pasar saham dalam waktu dekat.
Salah satu indikator utama yang dia soroti adalah lonjakan harga emas. Emas, yang sering disebut sebagai investasi aman, telah mengalami lonjakan harga yang signifikan. Hal ini biasanya menjadi tanda bahwa investor sedang mencari pelarian dari risiko pasar yang tinggi. Pada tahun 2024, harga emas mencapai level tertinggi sepanjang sejarah, mencatatkan harga 2.788 dolar AS per ounce pada akhir Oktober. Meskipun sempat mengalami sedikit penurunan pada pertengahan November, harga emas kembali menunjukkan tren positif, yang mengindikasikan ketidakpastian pasar. Menurut pengalaman historis, kenaikan harga emas yang tajam sering kali mendahului krisis finansial, seperti yang terlihat sebelum crash pasar pada tahun 2000 dan 2008.
Indikator lain yang ditekankan oleh Jovine adalah tingginya rasio Price to Earnings (P/E) perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham AS. Rasio ini mengukur harga saham relatif terhadap pendapatan perusahaan, dan nilai normal P/E di pasar yang sehat seharusnya berada pada angka 16. Namun, saat ini nilai P/E telah mencapai angka 35, yang berarti saham-saham di AS sudah diperdagangkan jauh lebih mahal dibandingkan dengan pendapatannya. Kondisi serupa juga terjadi menjelang dua krisis besar sebelumnya: crash pada 1929 dan gelembung dot-com yang meledak pada 1999. Dengan nilai P/E yang tinggi, banyak analis khawatir bahwa harga saham telah mencapai titik jenuh dan pasar bisa segera menghadapi koreksi besar.
Penjualan besar-besaran obligasi pemerintah AS juga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Pemerintah AS telah menjual obligasi senilai lebih dari 11 triliun dolar dalam empat tahun terakhir, dan pasar obligasi sudah menunjukkan tanda-tanda jenuh. Ketika permintaan terhadap obligasi menurun, pemerintah mungkin harus mengurangi pengeluarannya, yang bisa memicu pengurangan lapangan pekerjaan dan penurunan pendapatan perusahaan. Ini akhirnya dapat berujung pada penurunan harga saham, terutama karena pasar saham saat ini sebagian besar didorong oleh penerbitan obligasi pemerintah.
Selain faktor-faktor ekonomi domestik, Jovine juga memperingatkan tentang kemungkinan ketegangan geopolitik, khususnya yang melibatkan China dan Taiwan. Taiwan, sebagai produsen chip terbesar di dunia, memiliki peran vital dalam rantai pasokan global. Jika China memutuskan untuk menyerang Taiwan, pasokan chip dunia akan terganggu, yang bisa memperburuk krisis pasokan dan mempengaruhi pasar saham global. Keputusan geopolitik seperti itu dapat meruntuhkan pasar global dan menyebabkan resesi ekonomi besar.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor ini, Dylan Jovine memprediksi bahwa pasar saham AS bisa mengalami kejatuhan yang lebih parah dibandingkan dengan krisis finansial global pada 2008. Namun, dia menekankan bahwa prediksi ini bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memberikan gambaran tentang potensi risiko yang mungkin terjadi di masa depan. Sebagai seorang analis, Jovine berharap para investor dapat menyiapkan strategi yang lebih baik untuk menghadapi potensi krisis yang mungkin muncul.
Warren Buffett sendiri tidak tampaknya menunggu bencana datang, tetapi lebih mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Dengan menumpuk uang tunai sebesar 278 miliar dolar AS, lebih banyak daripada uang tunai yang dimiliki oleh Federal Reserve AS, Buffett tampaknya menunggu momen yang tepat untuk kembali masuk ke pasar dengan lebih banyak kesempatan. Bagi investor di Indonesia, apakah mereka juga sudah mempersiapkan diri menghadapi potensi krisis global yang bisa mempengaruhi pasar domestik? Waktu yang tepat untuk merencanakan langkah antisipasi adalah sekarang, karena ketidakpastian pasar semakin terasa.
More Stories
Dukungan Pemerintah terhadap UMKM untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional
Kantin dan UMKM Dapat Kesempatan Ikut Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Detroit Pistons Menang Tipis atas New York Knicks, Perpanjang Tren Kemenangan